SJARAH UANG REPUBLIK INDONESIA
(1) Periode Revolusi Kemerdekaan (1945–1949)
Setelah Jepang menyerah kalah pada sekutu pada bulan Agustus 1945, dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, kondisi perekonomian di Indonesia tidak kunjung membaik, malah sebaliknya tambah lama semakin menjadi buruk dimana harga-harga melambung tinggi di luar jangkauan daya beli masyarakat. Kondisi ini semakin diperburuk lagi setelah pendaratan sekutu di tanah air pada tanggal 29 September 1945 yang diboncengi oleh pasukan tentara Belanda (NICA) di bawah pimpinan Dr.H.J. van Mook. Pada masa itu tentara Sekutu merampas Oeang Jepang dari tangan Jepang di Jakarta sejumlah 2.000 juta roepiah dan oleh tentara sekutu, uang tersebut dihambur-hamburkan di tengah masyarakat, akibatnya harga barang naik terus menerus setiap hari, inflasi semakin tidak terkendali dan roepiah Jepang semakin tidak dipercayai oleh kaum pedagang karena nilainya yang terus menerus turun dibandingkan dengan harga barang.
Setelah memproklamirkan kemerdekaan RI, pemerintah RI menyadari belum mampu untuk mengeluarkan mata uangnya sendiri, sehingga melalui Maklumat Presiden RI no. 1 / 10 pada tanggal 3 Oktober 1945, pemerintah menetapkan untuk sementara waktu masih memberlakukan 3 jenis mata uang di seluruh wilayah RI, yaitu uang De Javasche Bank, uang Pemerintah Hindia Belanda, dan uang pendudukan Jepang. Sejalan dengan berputarnya waktu, pemerintah RI berusaha keras untuk dapat mencetak dan menerbitkan uang kertas Indonesia, dimana pada akhirnya usaha keras tersebut menghasilkan buahnya yaitu pada tanggal 30 Oktober 1946 dengan diterbitkanya emisi pertama uang kertas ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Adapun pengumumannya kepada seluruh rakyat Indonesia disampaikan sendiri oleh wakil Presiden RI, Drs Moh. Hatta pada tanggal 29 Oktober 1945.
Dasar hukum penerbitan ORI adalah:
UU No. 17/1946 tanggal 1 Oktober 1946 tentang pengeluaran ORI
UU No. 19/1946 tanggal 19 Oktober 1946 tentang nilai tukar 1 rupiah ORI sama dengan 50 rupiah uang Jepang di pulau Jawa atau 100 rupiah uang Jepang di Pulau Sumatra dan ditentukan juga bahwa setiap sepuluh rupiah ORI bernilai sama dengan emas murni seberat 5 gram. Keputusan Mentri keuangan RI No. Ss / 1 / 35 tanggal 29 Oktober 1946 tentang berlakunya secara sah ORI sejak tanggal 30 Oktober 1946 pukul 00:00, serta jangka waktu penarikan uang Hindia Belanda dan uang pendudukan Jepang dari peredaran.
Dengan beredarnya mata uang ORI, harga-harga barang berangsur-angsur kembali normal seperti sebelum pecah perang, akan tetapi apa daya ekonomi sudah porak poranda, dimana rakyat banyak yang sudah tidak memiliki apa-apa, sehingga pemerintah Indonesia pada saat itu menyelenggarakan usaha pembagian uang RI kepada rakyat kecil, dimana setiap satu jiwa berhak memperoleh 1 rupiah, dan untuk setiap kepala keluarga ditambah dengan sebesar 3 sen. Pada masa tersebut hampir di setiap kampung banyak orang, baik tua, muda dan bayi ikut antri dalam pembagian uang. Sedangkan sebelumnya dari pihak sekutu, dengan pengumuman dari Panglima Sekutu, Sir Montagne Stopford pada tanggal 6 Maret 1946 mengumumkan bahwa hanya uang NICA saja yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah pendudukan sekutu. Uang ini dicetak di America oleh perusahaan "American Banknote Company" pada tahun 1943 dan bergambar utama "Ratu Wilhelmina" dan kemudian dikenal dengan istilah "Uang Merah". Sisa-sisa pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingannya di Australia setelah Belanda kalah dari Jepang memang mencetak uang tersebut dalam rangka mempersiapkan diri kembali ke Indonesia manakala Jepang dapat dikalahkan dalam Perang Dunia II. Jadi pada saat itu uang NICA dan uang rupiah Jepang beredar bersama-sama, karena untuk daerah pendudukan memang beredar uang NICA sedangkan untuk daerah lainnya beredar uang rupiah Jepang, dan memang uang NICA hanya mempunyai kegunaan yang kecil yang hanya dapat digunakan untuk membeli barang-barang import/kaleng yang dijual di toko darurat dan dalam jumlah sangat terbatas, sedangkan uang rupiah Jepang diperlukan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya seperti sayuran, beras, ikan dan lain-lain. Karena itulah nilai tukar uang NICA terus merosot terhadap uang rupiah Jepang, yang pada awalnya ditetapkan 1 rupiah Jepang sama dengan 3 sen uang NICA atau dengan kata lain 33:1, di bulan berikutnya nilainya turun menjadi 25:1 dan bahkan sampai 20:1. Di toko-toko seringkali terjadi perselisihan yang tak jarang berakhir dengan kematian, contohnya ada seorang pedagang dari Cideng Barat ditembak mati oleh oknum serdadu KNIL karena pertengkaran kurs uang Jepang. Serdadu tersebut memaksakan belanja dengan kurs 1:33, sedangkan pedagang hanya mau menerima jika kurs 1:20, karena dia menukar di luaran juga berdasarkan kurs 1:20. Sementara itu barang-barang keperluan hidup terus naik, karena uang Jepang semakin hari semakin berkurang tersedot ke daerah pedalaman yanag menghasilkan barang-barang.
Selain dari ORI dan uang NICA juga dikenal pula ORIDA (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah) atau mungkin lebih tepat disebut URIDA (Uang Republik Indonesia Daerah). Uang ini dikeluarkan oleh pemerintah-pemerintah daerah tingkat provinsi, karesidenan dan bahkan kabupaten semasa perang kemerdekaan 1947–1949. Pada prinsipnya, URIDA ini terbit atas ijin pemerintah pusat RI guna memecahkan masalah kekurangan uang tunai di daerah-daerah akibat terputusnya jalur komunikasi normal & suply uang antara pusat dan daerah, karena kian meluasnya daerah pendudukan Belanda sebagai akibat agresi militer I Belanda 21 Juli 1947 dan agresi militer II Belanda 19 Desember 1948. URIDA pertama di Jawa adalah "Uang kertas Darurat untuk daerah Banten" pada tanggal 15 Desember 1947 dan uang ini dicetak di kota Serang, Banten. Sedangkan URIDA pertama di Sumatra adalah URIPS (Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatra) pada tanggal 31 Maret 1947 dan uang ini dicetak di Pematang Siantar, dan sebagai akibat dari agresi militer I Belanda, percetakan tersebut akhirnya dipindahkan ke Bukittingi, karena saat itu Pematang Siantar dikuasai oleh Belanda. Jadi di daerah-daerah wilayah RI selain beredar uang ORI berlaku untuk seluruh kawasan Indonesia, beredar pula uang daerah yang hanya berlaku di wilayah itu saja.
Pada masa itu pulalah De Javasche Bank menerbitkan uang kertas dari pecahan 5 sampai 1.000 Gulden dengan tahun emisi 1946 dan pada tahun 1948 menerbitkan pecahan ½, 1 dan 2 ½ Gulden. Mata uang inilah yang seringkali disebut sebagai uang "Federal". Perkembangan pasca 19 Desember 1948 memungkinkan peredaran uang federal hampir mencapai seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian Barat yang pada saat itu masih berlaku uang Nederlands Nieuw Guinea. Tanggal 29 Juni 1949, Belanda meninggalkan kota Jogjakarta dan pemerintahan pusat RI kembali berfungsi lagi di kota ini. Pada tanggal 1 Juli 1949, Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku mentri negara / koordinator keamanan, menetapkan ORI masih tetap berlaku sebagai alat pembayara yang sah disamping uang NICA yang beredar selama masa pendudukan.